This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Minggu, 11 Agustus 2024
Jumat, 12 Januari 2024
DUA ABU
DUA ABU
Kerajaan Gandalika merupakan sebuah negeri
yang teramat indah memesona. Negeri subur makmur, masyarakatnya hidup dengan aman
dan tenteram. Kerajaan ini diperintah oleh seorang raja yang bernama Raja
Baharuddin. Beliau mempunyai istri yang cantik jelita bernama Permaisuri
Salikah.
Raja Baharuddin adalah seorang raja gagah
perkasa. Sahabat maupun musuh-musuh kerajaan sangat menghormatinya. Ayunan
pedangnya membuat hati mereka bergetar hebat. Mata Raja Baharuddin seperti
elang yang menjaga sarang anak-anaknya dari gangguan musuh. Kakinya bagaikan
kijang emas yang menjadi incaran pemburu, kuat, cepat, lincah, dan bergelora
seperti aliran air dari hutan menuju muara.
Salah satu kekurangannya adalah belum
mempunyai keturunan, permaisurinya belum melahirkan putra. Telah lama
Permaisuri Salikah menikah dengan Raja Baharuddin, tetapi mereka masih belum
mempunyai keturunan. Permaisuri menjadi bersedih hati.
Pada suatu malam, Raja Baharuddin terbangun.
Setelah selesai shalat tahajud, beliau berdoa agar diberi putra. Ia duduk
bersujud menahan air mata, mencoba mengingat dosa apa yang pernah diperbuatnya
sehingga Allah menghukumnya. Apapun risiko akan diterimanya agar memiliki
putra.
Dalam doanya, “Wahai Zat Yang Maha Adil, hamba
bersujud dalam air mata memohon belas kasih-Mu. Malangnya nasib hamba-Mu ini
apabila tidak mempunyai keturunan sama sekali. Apakah kekurangan hamba-Mu ini
sehingga Gandalika terancam tidak mempunyai seorang pewaris? Hamba mohon,
sudilah kiranya Engkau memberi putra agar hamba dapat mewariskan kerajaan ini
kepadanya.”
Tiba-tiba, dari semua arah tempat ia berdoa
terdengar satu suara menggelegar, “Aku akan memberimu keturunan. Pergilah kau
ke suatu desa di pinggir hutan dan bagikan kepada warganya sedekah berupa apa
saja. Salah satu dari mereka akan mendoakanmu dan Aku akan mengabulkan doanya.”
Sumber: Abdul Rohim. Hikayat Dua Abu: Cerita
Rakyat dari DKI. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2017
SI MISKIN
SI MISKIN
Pada suatu masa, Batara Indera mengeluarkan
sumpah yang mengakibatkan seorang raja dan permaisurinya diusir dari kerajaan
dan hidup sengsara. Raja yang dijuluki Si Miskin dan permaisurinya hidup
sebagai orang miskin. Mereka sering diusir dan dianiaya oleh penduduk setiap kali
mencari tempat tinggal.
Ketika permaisuri mengandung tiga bulan, ia
mendambakan buah mangga dan mempelam milik raja. Meskipun Si Miskin awalnya
menolak, ia akhirnya memenuhi permintaan istrinya dan mencarikan buah-buahan
tersebut. Namun, pemberian yang diberikan oleh penduduk ditolak.
Si Miskin akhirnya berhadapan dengan raja
untuk memohon buah mangga dan mempelam. Setelah mendapatkan buah tersebut, ia
membawa pulang dan memberikannya pada permaisurinya. Setelah kelahiran putra
pertama mereka, yang bernama Marakarma, hidup mereka berubah.
Suatu hari, Si Miskin menemukan sebuah kotak
berisi emas yang tidak akan habis sampai kepada anak cucunya. Dengan takdir
Allah, sebuah kerajaan baru terbentuk dengan Si Miskin sebagai Maharaja Indera
Angkasa dan istrinya sebagai Ratna Dewi. Mereka memiliki dua anak, Marakarma
dan Nila Kesuma, yang tumbuh menjadi anak yang cantik dan tampan.
Namun, iri dengan kesuksesan Si Miskin,
Maharaja Indera Dewa melakukan tindakan jahat dengan menyuruh para ahli nujum
untuk meramalkan bahwa anak-anak Si Miskin akan mendatangkan celaka bagi
kerajaannya. Marakarma dan Nila Kesuma kemudian diusir dan negeri Puspa Sari
mereka hancur terbakar.
Marakarma dan Nila Kesuma terpisah dan
mengalami banyak kesulitan. Marakarma bertemu dengan Cahaya Chairani, sedangkan
Nila Kesuma menjadi istri putera mahkota di Palinggam Cahaya.
Cerita ini berlanjut dengan perjalanan
Marakarma dan Cahaya Chairani yang berusaha melarikan diri dari tempat raksasa
dengan kapal. Namun, Marakarma dijatuhkan ke laut dan diselamatkan oleh Nenek
Kebayan. Setelah menemukan Nila Kesuma, Marakarma mencari orang tuanya yang
kembali hidup dalam kemiskinan. Dengan kekuatan sakti, Marakarma menciptakan
kembali Kerajaan Puspa Sari dan mengalahkan negeri Antah Berantah. Akhirnya, Marakarma
menjadi raja di Palinggam Cahaya setelah menggantikan mertuanya, Maharaja Malai
Kisna.
RORO JONGGRANG
RORO JONGGRANG
Alkisah, terdapat sebuah kerajaan besar yang
bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tenteram dan damai. Tetapi, Kerajaan Prambanan
kemudian diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan
Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan
Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin
oleh Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso adalah seorang yang suka
memerintah dengan kejam. “Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan
dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung Bondowoso pada rakyatnya. Bandung
Bondowoso juga merupakan orang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak
berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro
Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku
ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.
Esok harinya, Bondowoso mendekati Roro
Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?”, Tanya
Bandung Bondowoso kepada Roro Jonggrang. Roro Jonggrang tersentak, mendengar
pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku
langsung menginginkanku menjadi permaisurinya”, ujar Roro Jonggrang dalam hati.
“Apa yang harus aku lakukan ?”. Roro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya
berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan
membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak
mungkin, karena Roro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.
“Bagaimana, Roro Jonggrang?” desak Bondowoso.
Akhirnya Roro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan,
tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah?
Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu, tuanku, kata Roro Jonggrang. Saya minta
dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso.
“Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso
menatap Roro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah. Sejak saat itu
Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia
bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bisa membuat candi tersebut
dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan
yang kubutuhkan!”
Setelah perlengkapan disiapkan, Bandung
Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya dibentangkan
lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya dengan suara menggelegar.
Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian,
pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan
Tuan?”, tanya pemimpin jin. “Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung
Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas
masing-masing. Dalam waktu singkat, bangunan candi sudah tersusun hampir
mencapai seribu buah.
Sementara itu, diam-diam Roro Jonggrang
mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan
jin. “Wah, bagaimana ini?”, ujar Roro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal.
Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami.
“Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Roro Jonggrang. Sebagian dayang
lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung… dung! Semburat warna merah
memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti
fajar yang menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing.
“Wah, matahari akan terbit!” seru jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh
kita dihanguskan matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut
berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran
melihat kepanikan pasukan jin.
Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Roro
Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Roro
Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999
buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal
memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung Bondowoso terkejut mengetahui
kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”, kata Bondowoso
sambil menatap tajam pada Roro Jonggrang. “Kalau begitu, kau saja yang
melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada Roro Jonggrang. Ajaib!
Roro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini,
candi-candi tersebut masih ada dan terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah,
dan disebut Candi Roro Jonggrang.
INDERA BANGSAWAN
INDERA BANGSAWAN
Di sebuah kerajaan, Raja Indera Bungsu
memiliki dua anak kembar yang bernama Syahpri dan Indera Bangsawan. Kedua anak
lelaki itu mendapatkan kasih sayang penuh dari Sang Raja. Mereka tumbuh sebagai
pemuda yang baik, tanggung, dan sakti.
Pada suatu waktu, Raja Indera Bungsu mulai
bingung siapa di antara kedua anak lelakinya yang akan menggantikannya sebagai
seorang Raja. Hingga suatu malam, Raja bermimpi dengan buluh perindu, yaitu
semacam alat musik yang memiliki suara merdu. Raja sangat terpesona dengan
buluh perindu, hingga Sang Raja mengadakan sayembara, barang siapa yang bisa
membawa pulang buluh perindu, ia akan menjadi seorang raja.
Kedua anak lelaki raja berangkat untuk mencari
buluh perindu. Mereka berdua terpisah dikarenakan badai besar. Syahpri berada
disebuah taman dan menemukan gendang. Dalam gendang, bersembunyi seorang Putri
Ratna Sari yang diculik oleh garuda. Singkatnya, Syahpri menikahi Putri Ratna
Sari.
Saudara kembar lainnya, Indera Bangsawan
tersesat dalam gua yang berpenghuni raksasa perempuan. Karena ketangguhan dan
kesaktian Indera, raksasa akhirnya dapat ditaklukan oleh Indera, raksasa
memberikan ajimat untuk Indera. Dalam perjalanannya, Indera mendapatkan seorang
istri sebagai hadiah sayembara yang ia menangkan. Indera juga berhasil
mendapatkan buluh perindu.
Ketika Indera dan istrinya pulang ke
negerinya, mereka diserang oleh Buraksa hingga mereka sakit keras. Mendengar
hal itu, Syahpri menyusul saudaranya dan membawa pulang untuk diobati hingga
sembuh. Indera mendapatkan tahta sebagai raja karena mampu membawa buluh
perindu pulang.
Sebagai balas budi, indera memberikan ajimat
kepada saudara kembarnya, yang bisa digunakan untuk membangun kerajaan dan
semua perlengkapannya. Seiring berjalan waktu, kedua negara hidup damai dan
saling membantu.
ABU NAWAS DAN ENAM EKOR LEMBU
ABU NAWAS DAN ENAM EKAOR LEMBU
Pada suatu hari, Raja Harun Al-Rasyid
memanggil Abu Nawas menghadap ke Istana. Kali ini, Raja ingin menguji
kecerdikan Abu Nawas.
Sesampainya di hadapan Raja, Abu Nawas pun
menyembah. Dan Raja bertitah, “Hai Abu Nawas, aku menginginkan enam ekor lembu
berjenggot yang pandai bicara, bisakah engkau mendatangkan mereka dalam waktu
seminggu? Kalau gagal, akan aku penggal lehermu.”
“Baiklah, tuanku Syah Alam, hamba junjung
tinggi titah tuanku,” jawab Abu Nawas.
Semua punggawa istana yang hadir pada saat
itu, berkata dalam hati, “Mampuslah kau Abu Nawas!”
Abu Nawas bermohon diri dan pulang ke rumah.
Begitu sampai di rumah, ia duduk berdiam diri merenungkan keinginan Raja.
Seharian ia tidak keluar rumah, sehingga membuat tetangga heran.
Ia baru keluar rumah persis setelah seminggu
kemudian, yaitu batas waktu yang diberikan Raja kepadanya. Ia segera menuju
kerumunan orang banyak, lalu ujarnya, “Hai orang-orang muda, hari ini hari
apa?”
Orang-orang yang menjawab benar, akan dia
lepaskan, tetapi orang-orang yang menjawab salah akan ia tahan. Dan ternyata,
tidak ada seorangpun yang menjawab dengan benar.
Tak ayal, Abu Nawas pun marah-marah kepada
mereka, “Begitu saja kok nggak bisa menjawab. Kalau begitu, mari kita menghadap
Raja Harun Al-Rasyid, untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya.”
Keesokan harinya, balairung Istana Baghdad
dipenuhi warga yang ingin tahu kesanggupan Abu Nawas mambawa enam ekor lembu
berjenggot. Sampai di depan Raja Harun Al-Rasyid, ia pun menghaturkan sembah
dan duduk dengan khidmat.
Lalu, Raja berkata, “Hai Abu Nawas, mana lembu
berjenggot yang pandai bicara itu?”. Tanpa banyak bicara, Abu Nawas pun
menunjuk keenam orang yang dibawanya itu, “Inilah mereka, tuanku Syah Alam.”
“Hai, Abu Nawas, apa yang kau tunjukkan
kepadaku itu?”
“Ya, tuanku Syah Alam, tanyalah pada mereka
hari apa sekarang,” jawab Abu Nawas.
Ketika Raja bertanya, ternyata orang-orang itu
memberikan jawaban berbeda-beda. Maka berujarlah Abu Nawas, “Jika mereka
manusia, tentunya tahu hari ini hari apa. Apalagi jika tuanku menanyakan hari
yang lain, akan tambah pusinglah mereka. Manusia atau hewan kah mereka ini?
Inilah lembu berjenggot yang pandai bicara itu, Tuanku.”
Raja heran melihat Abu Nawas pandai melepaskan
diri dari ancaman hukuman. Maka Raja pun memberikan hadiah 5.000 dinar kepada
Abu Nawas.
ABU NAWAS DAN DUA ORANG IBU
ABU NAWAS DAN DUA ORANG IBU
Abu Nawas diminta Raja Harun untuk memecahkan
persoalan tentang perebutan seorang bayi oleh dua orang yang mengaku ibu
kandung dari bayi tersebut. Persoalan ini sempat ditangani oleh hakim
pengadilan, tetapi para hakim tidak mendapatkan solusi hingga meminta Raja
Harun untuk menyelesaikan masalahnya.
Abu Nawas terkenal sebagai seorang yang cerdik
hingga diberi kepercayaan untuk menangani masalah ini. Saat sidang
diselenggarakan, Abu Nawas meletakkan bayi di atas sebuah meja dan meminta
Algojo untuk membelah bayi tersebut.
“Sebelum saya mengambil tindakan apakah salah
seorang di antara kalian bersedia menyerahkan bayi itu kepada ibu kandungnya?”
tanya Abu Nawas sebelumnya.
Ibu pertama tidak bersedia menyerahkan bayi
tersebut karena merasa dia yang berhak atas bayi tersebut.
“Tolonglah, jangan belah bayi itu. Berikanlah
bayi itu kepada perempuan yang mengaku sebagai ibu kandungya. Aku rela asalkan
bayi itu, tetap bisa hidup,” jawab ibu yang kedua.
Mendengar jawaban dari masing-masing ibu, Abu
Nawas sudah mengetahui secara pasti siapa yang memang ibu kandung dari bayi
tersebut. Abu Nawas menyerahkan bayi kepada ibu yang kedua karena tidak ada
seorang ibu yang rela anak kandungnya terluka. Ia juga meminta kepada hakim
untuk menghukum ibu yang pertama karena telah berbohong.
SEORANG LELAKI DAN RUMAH SEMPIT
SEORANG LELAKI DAN RUMAH SEMPIT
Alkisah terdapat seorang lelaki yang datang ke
rumah Abu Nawas. Pria tersebut ingin mengeluh kepadanya tentang masalah yang
tengah dihadapinya. Ia pun merasakan sedih dikarenakan rumahnya sangat terasa
sempit ketika ditinggali oleh banyak orang.
“Wahai Abu Nawas, Saya mempunyai seorang istri
dan juga 8 orang anak tetapi rumah saya sangat sempit. Setiap harinya mereka
mengeluh dan juga tidak nyaman tinggal di rumah itu. Kami pun ingin pindah dari
rumah tersebut, tetapi kami tidak memiliki uang. Jadi tolonglah katakan
kepadaku apa yang bisa aku lakukan,” tanyanya.
Mendengar pertanyaan lelaki yang sangat sedih
tersebut, Abu Nawas pun berpikir sejenak. Dan tak berapa lama kemudian suatu
ide lewat di kepalanya.
“Kamu memiliki domba di rumahmu?” Abu Nawas
bertanya kepada lelaki tersebut. “Aku tidak menaiki domba maka dari itu aku tak
mempunyainya,” jawab lelaki tersebut. Kemudian ketika mendengar jawabannya itu,
Abu Nawas pun meminta lelaki itu untuk membeli seekor domba dan menyuruhnya
agar menaruhnya di rumah.
Lelaki tersebut kemudian mengikuti usulan dari
Abu Nawas dan ia pun pergi untuk membeli domba. Esok harinya, ia pun datang
lagi ke rumah Abu Nawas. “Abu Nawas, bagaimana ni? Nyatanya rumahku sekarang
semakin sempit dan juga berantakan.”
“Ya sudah kalau begitu kamu cobalah membeli 2
ekor domba lagi dan kamu dapat memeliharanya di rumahmu juga,” jawab Abu Nawas.
Dan kemudian pria itu pun pergi kepasar dan
juga ia membeli 2 ekor domba lagi, tetapi hasilnya tak sesuai dengan harapannya
karena rumahnya semakin terasa sempit.
Dengan sangat jengkel nya, Ia pun pergi
menghadap Abu Nawas lagi untuk mengadukan masalah itu untuk yang ketiga kalinya.
Ia pun menceritakan segala apa yang sudah terjadi, termasuk tentang istrinya
yang menjadi marah-marah dikarenakan domba itu. Dan kemudian Abu Nawas
menyarankan untuk menjualkan semua domba yang ia miliki.
Esok harinya, Abu Nawas dan lelaki tersebut
bertemu lagi. Dan Abu Nawas menanyakannya, “Bagaimana rumahmu sekarang? sudah
merasa lega?”
“Dan setelah aku menjual domba tersebut
rumahku menjadi nyaman ketika di tinggali. Istriku pun sudah tak lagi
marah-marah,” jawab lelaki tersebut seraya tersenyum. Dan pada akhirnya Abu
Nawas bisa menyelesaikan masalah lelaki tersebut.
BAYAN YANG BUDIMAN
BAYAN YANG BUDIMAN
Alkisah di kerajaan Azzam, hiduplah seorang
saudagar yang kaya raya dan telah berkeluarga yang bernama Khojan Mubarok.
Keluarga itu belum lengkap karena belum mempunyai seorang anak. Walaupun begitu
saudagar itu tak putus asa dan juga tak lelah memanjatkan doa agar ia segera
mendapatkan anak.
Penantiannya yang panjang itu pun berakhir,
karena istrinya sudah mengandung dan juga melahirkan seorang bayi berjenis
kelamin laki-laki dan memiliki nama Khojan Maimun. Anak itu pun tumbuh menjadi
seorang anak yang baik dan juga soleh. Di usianya yang sudah 15 tahun, anak itu
kemudian dinikahkan dengan seseorang yang bernama Bibi Zainab, ia merupakan
anak dari seorang saudagar yang kaya.
Dan pada suatu saat, Maimun meminta izin ke
istrinya dengan tujuan berlayar. Dan sebelum berlayar, ia membelikan seekor
burung Bayan yang berjenis kelamin jantan dan juga burung tiung yang berjenis
kelamin betina. Dan ia pun berpesan ke istrinya apabila ia menghadapi suatu
masalah sebaiknya ia membicarakannya kepada kedua burung tersebut.
Dan beberapa hari kemudian ketika ia sudah
ditinggal suaminya, Bibi Zainab pun merasakan kesepian. Sampai pada suatu hari
datang seorang anak dari raja yang jatuh hati kepada kecantikannya dan anak
tersebut pun mendekatinya. Lelaki itu kemudian meminta seorang perempuan tua
untuk membantunya berkenalan dengan Bibi Zainab. Dan ternyata Bibi Zainab pun
juga tertarik kepada lelaki tersebut dan mereka pun saling jatuh cinta.
Di suatu malam Bibi zainab pun pergi dengan
anak tersebut dan ia berpamitan kepada burung tiung. Burung itu kemudian
menasehatinya agar tak pergi dikarenakan hal itu melanggar aturan dan Ia juga
sudah mempunyai seorang suami. Setelah mendengarkan itu, Bibi zainab pun marah
dan kemudian membantingkan sangkar dari burung tersebut sehingga membuat burung
tersebut mati.
Dan Bibi zainab pun melihat burung bayan yang
tengah tertidur. Tetapi nyatanya burung tersebut hanya berpura-pura tidur
dikarenakan apabila ia memberikan suatu jawaban yang sama, maka nyawanya juga
ikut terancam.
Pada saat zainab berpamitan kepada burung
bayan, maka burung tersebut mengatakan, “Kamu boleh pergi, dan bergegaslah
karena anak tersebut sudah menunggumu lama. Apa yang telah kamu lakukan, aku
yang akan menanggung semuanya. Apa yang dicari manusia yang ada di dunia ini
selain dari kesabaran, martabat dan juga kekayaan? Aku hanya seekor burung
bayan yang sudah dicabut bulunya oleh istri pemilikku.”
Dan malam berikutnya Bibi zainab pun sering
pergi untuk bertemu dengan pemuda tersebut. Di setiap kali ia berpamitan burung
tersebut menceritakan suatu kisah. Dan kemudian Bibi Zainab merasa menyesal
atas perbuatannya dan tak akan mengulangi perbuatannya itu lagi.
HIKAYAT ANTU AYEK
HIKAYAT ANTU AYEK
Suatu hari, sang ayah terpaksa menikahkan
Gadis Juani dengan Bujang Juandan karena terjerat utang dengan keluarga Bujang
Juandan. Bujang Juandan memang pemuda dari keluarga kaya, tetapi yang membuat
Gadis Juani sedih adalah rupa Bujang Juandan yang tidak tampan. Selain itu,
Bujang Juandan pun menderita penyakit kulit di sekujur tubuhnya, sehingga dia
juga dikenal sebagai Bujang Kurap. Akhirnya di malam pernikahan, Gadis Juani
tidak kuasa membendung kesedihan ketika arak-arakan rombongan Bujang Juandan
tiba. Di tengah kekalutan pikiran, sambil berurai air mata, dia keluar lewat
pintu belakang rumah dan berlari menuju sungai. Dia mengakhiri hidupnya di
sungai itu dan menjadi arwah penunggu sungai yang dikenal sebagai Antu Ayek.
SRI RAMA MENCARI SITA DEWI
SRI RAMA MENCARI SITA DEWI
Sita Dewi yang merupakan istri dari Sri Rama
menghilang tidak tahu di mana dan kemana. Dan sebagai seorang suami, ia pun
pasti merasa kebingungan. Kemudian Sri Rama memutuskan untuk berjalan dan
berjalan untuk mencari istrinya dengan dibantu seorang pengawal. Dan kemudian
keduanya pun mencari Sita sampai ke dalam hutan.
Di dalam hutan, mereka bertemu seekor burung
jantan yang sangat sombong dan memiliki empat istri. Ia pun berbicara dapat
menjaga keempat istrinya, dan sedangkan Sri Rama yang menjaga satu orang istri
saja tak mampu. Sri Rama merasa tersinggung ketika mendengar hal tersebut,
kemudian ia berdoa ke Dewata agar burung itu tak dapat melihat istrinya. Tak
lama kemudian, seekor burung itu menjadi buta.
Kemudian, Sri Rama dan juga pengawalnya
berkelana lagi dan kemudian bertemu dengan hewan, yaitu seekor bangau yang
tengah minum tepat di tepi danau. Sri Rama pun kemudian bertanya ke bangau
tersebut apakah ia melihat istrinya.
Dan bangau itu pun kemudian menjawab
bahwasanya ia melihat bayang dari seorang wanita dibawa terbang oleh Maharaja
Rahwana. Dan Sri Rama pun merasa senang akhirnya ia bisa mendapatkan suatu
petunjuk sampai ia mengabulkan permintaan seekor bangau itu, yaitu dapat
memanjangkan lehernya agar mudah saat minum.
Di tengah perjalanannya, Rama pun merasa haus.
Dan ia melepaskan suatu anak panah yang dapat memandu pengawalnya untuk
menemukan mata air. Pengawal itu membawakannya air yang setelah diminum
ternyata tak enak dan airnya berbau busuk. Dan kemudian mereka menyusuri
sepanjang aliran mata air tersebut dan bertemu seekor burung yang besar dan
sedang sekarat, burung tersebut bernama Jentayu.
Rama kemudian bertanya kepadanya apa yang
sudah terjadi. Jentayu menceritakan mengenai pertarungannya bersama Rawana, selanjutnya
ia memberikan sebuah cincin milik Sita Dewi yang dilempar kepadanya sebelum
jatuh ke bumi. Dikarenakan keadaannya yang sangat lemah, jentayu memberikan
pesan kepada Rama untuk dapat membesarkan mayatnya di tempat yang tak dihuni
oleh manusia. Dan tak lama kemudian, burung itu pun mati.
Rama pun menyuruh pengawalnya untuk mencari
suatu tempat yang tak dihuni oleh manusia. Tetapi sayangnya, ia tak menemukan
tempatnya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk membakar burung tersebut di tempat
itu dan kemudian nyalalah api yang begitu besar. Karena kesaktiannya tersebut,
Rama tak terluka sedikitpun. Setelah api tersebut padam, Rama dan juga
pengawalnya kembali untuk melanjutkan mencari istrinya.
HIKAYAT AMIR
HIKAYAT AMIR
Dahulu kala di Sumatera, hiduplah seorang
saudagar bernama Syah Alam. Syah Alam mempunyai seorang anak bernama Amir. Amir
tidak bisa mengatur uangnya dengan baik. Setiap hari dia membelanjakan uang
yang diberi ayahnya. Karena sayangnya pada Amir, Syah Alam tidak pernah
memarahinya. Syah Alam hanya bisa mengelus dada.
Lama-kelamaan Syah Alam jatuh sakit. Makin
hari sakitnya makin parah. Banyak uang yang dikeluarkan untuk pengobatan,
tetapi tidak kunjung sembuh. Akhirnya mereka jatuh miskin.
Penyakit Syah Alam makin parah. Sebelum
meninggal, Syah Alam berkata, “Amir, Ayah tidak bisa memberikan apa-apa lagi
padamu. Engkau harus bisa membangun usaha lagi seperti Ayah dulu. Jangan kau
gunakan waktumu sia-sia. Bekerjalah yang giat, pergi dari rumah. Usahakan
engkau terlihat oleh bulan, jangan terlihat oleh matahari.”
“Ya, Ayah. Aku akan turuti nasehatmu.”
Sesaat setelah Syah Amir meninggal, ibu Amir
juga sakit parah dan akhirnya meninggal. Sejak itu Amir bertekad untuk mencari
pekerjaan. Ia teringat nasihat ayahnya agar tidak terlihat matahari, tetapi
terlihat bulan. Oleh sebab itu, ke mana-mana ia selalu memakai payung.
Pada suatu hari, Amir bertemu Nasrudin,
seorang menteri yang pandai. Nasarudin sangat heran dengan pemuda yang selalu
memakai payung itu. Nasarudin bertanya kenapa dia berbuat demikian.
Amir bercerita alasannya berbuat demikian.
Nazarudin tertawa. Nasarudin berujar, “Begini ya, Amir. Bukan begitu maksud
pesan ayahmu dulu. Akan tetapi, pergilah sebelum matahari terbit dan pulanglah
sebelum malam. Jadi, tidak mengapa engkau terkena sinar matahari.”
Setelah memberi nasihat, Nasarudin pun memberi
pinjaman uang kepada Amir. Amir disuruhnya berdagang sebagaimana dilakukan
ayahnya dulu.
Amir lalu berjualan makanan dan minuman. Ia
berjualan siang dan malam. Pada siang hari, Amir menjajakan makanan, seperti
nasi kapau, lemang, dan es limau. Malam harinya ia berjualan martabak,
sekoteng, dan nasi goreng. Lama-kelamaan usaha Amir makin maju. Sejak itu, Amir
menjadi saudagar kaya.
BUNGA KEMUNING
BUNGA KEMUNING
Alkisah seorang raja yang bijaksana memiliki
10 orang putri yang sangat cantik. Sayangnya, sang istri meninggal saat
melahirkan putri bungsunya, Putri Kuning. Suatu hari, Sang Raja hendak pergi
keluar kota untuk beberapa saat dan menanyakan oleh-oleh apa yang diinginkan
saat sang raja pulang.
Sembilan putrinya meminta hadiah mewah, seperti
perhiasan, kain sutra, dan lain-lain. Namun, Putri Kuning hanya meminta sang
ayah agar pulang dalam keadaan sehat. Saat sang ayah pergi, kesembilan putrinya
hanya bersenang-senang dan meminta pelayan melayaninya secara seenaknya.
Akibat perbuatan sembilan kakaknya, taman
kesayangan Sang Raja menjadi kotor.
Putri Kuning yang berinisiatif membersihkan
taman pun diledek oleh kakak-kakaknya dan menyebutnya sebagai “pelayan baru”.
Akhirnya, saat Sang Raja pulang, dia memberikan hadiah berupa kalung berwarna
hijau yang sangat cantik. Putri Hijau yang merasa iri, akhirnya menghasut
saudara-saudaranya untuk mencuri kalung itu.
Namun, saat merebut kalung itu, mereka tidak
sengaja memukul kepala Putri Kuning hingga meninggal dunia. Untuk menutupi
perbuatannya tersebut, kesembilan putri mengubur Putri Kuning di taman. Raja
yang terus mencari Putri Kuning akhirnya menemukan keanehan di taman. Di taman
itu tumbuh sebuah bunga berwarna kuning dan memunculkan aroma harum. Akhirnya
Raja merawat bunga itu dan menamainya dengan nama Bunga Kemuning.
TIGA PENGEMBARA LAPAR
TIGA PENGEMBARA LAPAR
Dikisahkan, tiga orang pengembara, yaitu
Buyung, Kendi, dan Awang, sedang dalam pengembaraan. Ketika tiba di sebuah
hutan, perut mereka sangat kelaparan, tetapi perbekalan mereka sudah habis.
Dalam keadaan lapar, Kendi dan Buyung pun
sesumbar, bahwa mereka bisa menghabiskan nasi sekawah dan 10 ekor ayam seorang
diri dalam keadaan seperti ini. Namun, tidak seperti teman-temannya, Awang
hanya mengharapkan sepiring nasi dan lauk yang cukup untuk mengisi perutnya.
Tidak disangka-sangka, mereka menemukan sebuah
pohon ara ajaib yang mendengarkan permintaan mereka. Kemudian, pohon itu
menggugurkan tiga daun yang setiap lembarnya berubah menjadi makanan yang
mereka inginkan.
Setelah mendapat makanan secukupnya, Awang pun
berhenti makan, tetapi dua sahabatnya itu masih melanjutkan makan. Kendi dan
Buyung akhirnya berhenti karena merasa kekenyangan karena tidak sanggup
menghabiskan makanan yang mereka minta. Akhirnya nasi yang tidak termakan itu
marah lalu menggigit tubuh Kendi.
Kemudian, Buyung yang hanya dapat menghabiskan
satu ekor ayam saja, membuang sisa sembilan ekor ayam ke semak-semak. Tanpa
diduga, ayam-ayam itu kemudian menyerangnya. Awang hanya bisa terdiam melihat
sahabat-sahabatnya tewas mengenaskan.
ABU NAWAS DAN LALAT
ABU NAWAS DAN LALAT
Suatu hari Baginda Raja membongkar rumah dan
tanah Abu Nawas begitu saja untuk menemukan emas dan permata. Namun, ternyata
emas dan permata yang katanya berada di dalam tanah milik Abu Nawas hanyalah
rumor. Setelah tidak menemukan emas dan permata, Baginda Raja bukannya meminta
maaf dan mengganti kerugian, tetapi malah pergi begitu saja.
Abu Nawas pun marah dan ingin balas dendam.
Saat sedang makan bersama istrinya, dia menemukan seekor lalat di meja makan
dan dia pun tertawa karena menemukan ide untuk balas dendam. Kepada Baginda
Raja, Abu Nawas mengaku hendak melaporkan perlakuan tamu tidak diundang.
“Siapakah tamu tidak diundang itu?” tanya
Baginda.
“Lalat-lalat ini, Tuanku,” kata Abu Nawas yang
membawa lalat di atas piring yang tertutup tudung saji.
Abu Nawas pun meminta izin untuk mengusir
lalat-lalat itu. Baginda Raja yang sedang berkumpul bersama para menteri pun
langsung memerintahkan Abu Nawas mengusir lalat itu. Bermodalkan tongkat besi,
Abu Nawas pun mengejar dan memukuli lalat itu hingga vas bunga, patung hias,
dan perabotan istana hancur karenanya. Akhirnya Baginda Raja menyadari
kekeliruannya. Abu Nawas yang puas memberikan pelajaran pada Baginda Raja pun
meminta izin pulang.
HIKAYAT HANG TUAH
HIKAYAT HANG TUAH
Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang
bernama Hang Tuah, anak Hang Mahmud. Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung.
Pada saat itu, semua orang di Sungai Duyung mendengar kabar tentang Raja Bintan
yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya.
Ketika Hang Mahmud mendengar kabar itu, Hang
Mahmud berkata kepada istrinya yang bernama Dang Merdu, ”Ayo kita pergi ke
Bintan, negeri yang besar itu, apalagi kita ini orang yang miskin. Lebih baik
kita pergi ke Bintan agar lebih mudah mencari pekerjaan.” Lalu pada malam
harinya, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit.
Cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah. Hang
Mahmud pun terbangun dan mengangkat anaknya serta menciumnya. Seluruh tubuh
Hang Tuah berbau seperti wangi-wangian. Siang harinya, Hang Mahmud pun
menceritakan mimpinya kepada istri dan anaknya. Setelah mendengar kata
suaminya, Dang Merdu pun langsung memandikan dan melulurkan anaknya.
Setelah itu, ia memberikan anaknya itu kain,
baju, dan ikat kepala serba putih. Lalu Dang Merdu memberi makan Hang Tuah nasi
kunyit dan telur ayam, ibunya juga memanggil para pemuka agama untuk mendoakan
selamatan untuk Hang Tuah. Setelah selesai dipeluknyalah anaknya itu. Lalu kata
Hang Mahmud kepada istrinya, ”Adapun anak kita ini kita jaga baik-baik, jangan
diberi main jauh-jauh.”
Keesokan harinya, seperti biasa Hang Tuah
membelah kayu untuk persediaan. Lalu ada pemberontak yang datang ke tengah
pasar, banyak orang yang mati dan luka-luka. Orang-orang pemilik toko
meninggalkan tokonya dan melarikan diri ke kampong. Gemparlah negeri Bintan itu
dan terjadi kekacauan di mana-mana. Ada seorang yang sedang melarikan diri
berkata kepada Hang Tuah, ”Hai, Hang Tuah, hendak matikah kau tidak mau masuk
ke kampung?”
Maka kata Hang Tuah sambil membelah kayu,
”Negeri ini memiliki prajurit dan pegawai yang akan membunuh, ia pun akan mati
olehnya.” Waktu ia sedang berbicara, ibunya melihat bahwa pemberontak itu
menuju Hang Tuah sambil menghunuskan kerisnya. Maka ibunya berteriak dari atas
toko, katanya, ”Hai, anakku, cepat lari ke atas toko!”
Hang Tuah mendengarkan kata ibunya, ia pun
langsung bangkit berdiri dan memegang kapaknya menunggu amarah pemberontak itu.
Pemberontak itu datang ke hadapan Hang Tuah lalu menikamnya bertubi-tubi. Maka
Hang Tuah pun melompat dan mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah lalu
mengayunkan kapaknya ke kepala orang itu, lalu terbelah kepala orang itu dan
mati.
Maka kata seorang anak yang menyaksikannya,
“Dia akan menjadi perwira besar di tanah Melayu ini.” Terdengarlah berita itu
oleh keempat kawannya, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu.
Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan Hang Tuah. Hang Jebat dan Hang
Kesturi bertanya kepadanya, ”Apakah benar engkau membunuh pemberontak dengan
kapak?”
Hang Tuah pun tersenyum dan menjawab,
“Pemberontak itu tidak pantas dibunuh dengan keris, melainkan dengan kapak
untuk kayu.”
Kemudian karena kejadian itu, baginda raja
sangat mensyukuri adanya sang Hang Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti
ia akan dipanggil oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan
pegawai-pegawai lain yang juga iri hati kepada Hang Tuah. Setelah diskusi itu,
datanglah mereka ke hadapan Sang Raja.
Maka saat sang Baginda sedang duduk di
tahtanya bersama para bawahannya, Tumenggung dan segala pegawai-pegawainya
datang berlutut, lalu menyembah Sang Raja, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan
berkat, ada banyak berita tentang pengkhianatan yang sampai kepada saya.
Berita-berita itu sudah lama saya dengar dari para pegawai-pegawai saya.”
Setelah Sang Baginda mendengar hal itu, maka
Raja pun terkejut lalu bertanya, “Hai kalian semua, apa saja yang telah kalian
ketahui?”
Maka seluruh menteri-menteri itu menjawab,
“Hormat tuanku, pegawai saya yang hina tidak berani datang, tetapi dia yang
berkuasa itulah yang melakukan hal ini.”
Maka Baginda bertitah, “Hai Tumenggung,
katakan saja, kita akan membalasnya.”
Maka Tumenggung menjawab, “Hormat tuanku, saya
mohon ampun dan berkat, untuk datang saja hamba takut karena yang melakukan hal
itu, tuan sangat menyukainya. Baiklah kalau tuan percaya pada perkataan saya
karena jika tidak, alangkah buruknya nama baik hamba, seolah-olah
menjelek-jelekkan orang itu.”
Setelah Baginda mendengar kata-kata Tumenggung
yang sedemikian itu, maka Baginda bertitah, “Siapakah orang itu, Sang Hang Tuah
kah?” Maka Tumenggung menjawab, “Siapa lagi yang berani melakukannya selain
Hang Tuah itu. Saat pegawai-pegawai hamba memberitahukan hal ini pada hamba,
hamba sendiri juga tidak percaya, lalu hamba melihat Hang Tuah sedang berbicara
dengan seorang perempuan di istana tuan ini. Perempuan tersebut bernama Dang
Setia. Hamba takut ia melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka hamba dengan
dikawal datang untuk mengawasi mereka.”
Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah
ia, sampai mukanya berwarna merah padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai
yang berhati jahat itu, “Pergilah, singkirkanlah Si Durhaka itu!” Maka Hang
Tuah pun tidak pernah terdengar lagi di dalam negeri itu, tetapi si Tuah tidak
mati karena si Tuah itu perwira besar, apalagi dia menjadi wali Allah.
Kabarnya sekarang ini Hang Tuah berada di
puncak dulu Sungai Perak, di sana ia duduk menjadi raja segala Batak dan orang
hutan. Sekarang pun Raja ingin bertemu dengan seseorang, lalu ditanyainya orang
itu dan ia berkata, “Tidakkah Tuan ingin mempunyai istri?” Lalu jawabnya, “Saya
tidak ingin mempunyai istri lagi.”
Kamis, 11 Januari 2024
SI KANCIL TIDAK SUKA HUJAN
SI KANCIL TIDAK SUKA HUJAN
Suatu
hari, musim hujan telah tiba. Hujan turun setiap hari, udara berubah menjadi
dingin dan banyak binatang yang menghabiskan hari-harinya hanya di dalam rumah.
Namun, ada satu binatang yang sama sekali tidak suka dengan hujan. Binatang
tersebut adalah Kancil.
‘’
Hujan turun setiap hari, udara sangat dingin. Aku sama sekali tidak dapat
keluar untuk mencari makanan. Akhirnya, aku harus menahan lapar sepanjang
hari.’’ Keluh Kancil.
Pada
hari tersebut. seluruh penghuni hutan di undang Bibi Beruang untuk makan
bersama dirumahnya termasuk Kancil. Hujan turun dengan sangat lebat pada saat
Kancil sudah setengah perjalanan menuju Bibi Beruang. Kancil pun marah-marah
pada saat sampai dirumah bibi Beruang. Badanya pun basah semua.
‘’
Cil, kenapa kamu selalu marah-marah ketika hujan turun?’’ Tanya bibi Beruang
‘’
Lihatlah bi, karena hujan ini. Kita tidak bias pergi ke mana-mana. Karena hujan
juga tubuhku jadi basah seperti ini. Lihatlah bi, banyak sekali tamu yang tidak
datang. Mereka pasti malas untuk pergi keluar rumah pada saat hujan seperti
ini.’’ Kata Kancil.
Bibi
Beruang hanya tersenyum menanggapi keluhan Kancil.
‘’
Kancil, janganlah kamu jadi binatang yang sombong.’’ Ujar bibi Beruang.
Sementara,
Kancil kebingungan dengan yang di ucapkan oleh bibi Beruang
‘’
Sombong? Bagaimana mungkin bibi bilang aku sombong?’’ Tanya Kancil heran.
‘’
Kancil, tanpa hujan kita semua tidak akan bisa hidup. Karena hujan memberikan kita
air yang sangat melimpah tanpa harus kita minta. Dengan air itu pohon-pohon
akan tumbuh dan mendapatkan air yang cukup. Sehingga, dapat tumbuh dan berbuah.
Buah tersebut dapat kita makan dam kita nikmati. Karena hujan juga hutan kita
tidak kekeringan.’’ Ujar bibi beruang menjelaskan.
Kancil pun mendengarkan apa yang di katakan
bibi Beruang. Ia pun merasa sangat malu. Benar apa yang dikatakan bibi Beruang,
ia tidak pernah menyadari manfaat hujan. Sejak saat itulah, ia tidak pernah
mengeluh pada saat hujan turun. Justru, ia selalu berdoa dan bersykur karena
sudah di berikan hujan. Ia selalu berdoa, semoga hujan tersebut dapat bermanfaat
untuk seluruh penghuni hutan dan tumbuhan lainnya yang membutuhkan air.
SI KANCIL NYOLONG TIMUN
SI KANCIL NYOLONG TIMUN
Kancil
terbangun dari tidurnya. Ia mendengar suara gaduh di sekitar rumahnya. Olala…
penghuni hutan berlarian tak keruan.
“Hey,
kenapa kalian lari? Ada apa?” seru Kancil.
“Kebakaran
hutan! Kau harus segera menyelamatkan diri! Ayo pergi dari hutan ini!” seru
salah satu binatang.
Kancil
memeriksa sekelilingnya. Benar saja, asap sudah membumbung tinggi. Sebentar
lagi kebakaran akan sampai ke rumahnya. Kancil pun segera menyelamatkan diri.
Ia lari sampai di ladang petani.
Sesampainya
di ladang petani, Kancil merasa lapar. Ia sudah berlari amat jauh dan belum
makan. Untunglah ada kebun timun yang luas. Timun-timun itu sepertinya hampir
panen.
“Sepertinya
kalau aku mengambil beberapa timun ini, Pak Tani tidak akan keberatan,” ucap
Kancil. Ia pun Iangsung mengambil beberapa timun dan melahapnya.
Setelah
makan, Kancil merasa kekenyangan, lalu tertidur. Untunglah hari itu Pak Tani
tak pergi ke Iadangnya.
Keesokan
harinya, Kancil bangun dengan malas. Ia masih melihat hamparan ladang timun
yang luas
“Wah,
aku tak perlu bersusah payah lagi untuk mencari makan. Aku akan makan mentimun
yang segar itu,” ujar Kancil.
Usai
makan, Kancil lalu pergi ke rumahnya di hutan. Kebakaran memang sudah usai. Ia
ingin melihat rumahnya, apakah terbakar ataukah masih utuh.
Kancil
merasa sedih saat melihat sebagian besar rumahnya terbakar. Ia harus kembali
membangun rumahnya. Sementara itu, Pak Tani kaget saat melihat ladang timun
miliknya rusak. Timun-timun miliknya berserakan.
“Siapa
yang berani mencuri timunku?” dengus Pak Tani, geram.
Pak
Tani lalu mencari cara untuk membuat pencuri timun tak berani datang lagi. Ia
membuat orang-orangan sawah dari jerami. Orang-orangan sawah itu ia dandani
persis seperti dirinya. Ia juga melapisi tubuh orang-orangan sawah tersebut
dengan lem agar binatang yang berani mengganggunya akan Iengket dengan
orang-orangan sawah itu.
Sementara
itu, Kancil merasa Iapar. Ia berniat untuk pergi ke ladang Pak Tani lagi,
meminta beberapa timun. Olala… sesampainya di sana, Kancil melihat
orang-orangan sawah. Ia pikir itu adalah Pak Tani.
“Sepertinya
Pak Tani sudah tahu siapa yang mencuri tanamannya. Makanya ia berjaga-jaga di
ladangnya,” gumam Kancil.
Kancil
kembali lagi ke ladang Pak Tani. Ia ingin memakan timun Pak Tani lagi. amun, ia
melihat ada orang-orangan sawah. Kancil mengira itu adalah Pak Tani.
“Lebih
baik aku temui Pak Tani. Aku akan meminta maaf karena kemarin telah merusak
ladangnya,” gumam Kancil.
la
mendekati orang-orangan sawah. Kancil berbicara dengan orang-orangan sawah yang
ia kira Pak Tani.
“Maafkan
aku Pak Tani. Aku berjanji tak akan mencuri timunmu lagi. Tapi sekarang aku
ingin minta beberapa timun lagi dari ladangmu. Aku sangat lapar,” ucap Kancil.
Kancil
memperhatikan orang-orangan sawah itu. Orang-orangan itu sama sekali tak
bergerak. Lama-lama Kancil pun tahu bahwa itu bukanlah Pak Tani. Kancil
memegang orang-orangan sawah itu. Olala… kakinya menempel erat di tubuh
orang-orangan sawah. Ia terjebak. Lem yang melumuri orang-orangan sawah itu
sangat kuat.
Dari
kejauhan, Pak Tani melihat kancil yang terperangkap. Pak Tani pun langsung lari
menghampirinya.
“Rupanya
kau yang sudah mencuri timun di ladangku,” seru Pak Tani
Pak
Tani lalu membawa Kancil ke rumahnya. Ia mengurung Kancil di dalam sebuah
kandang. Sungguh sedih hati Kancil.
Kancil
mencari cara untuk melarikan diri. Saat Pak Tani keluar, Kancil memanggil
anjing penjaga milik Pak Tani.
“Anjing,
sebelum aku jadi santapan Pak Tani, maukah kau menemaniku di kandang ini?”
tanya Kancil.
Anjing
yang melihat Kancil merasa iba. Ia pun membuka kandang Kancil, hendak masuk ke
sana untuk menemani Kancil. Mendapat kesempatan itu, Kancil langsung melesat
cepat keluar dari kandang. Ia pun segera berlari menjauh dari rumah Pak Tani.
“Syukurlah
aku masih selamat,” gumam Kancil sambil terus berlari.
Semenjak
kejadian itu, Kancil tak berani lagi mencuri timun milik Pak Tani. Ia akan
menanam sendiri timun di hutan. Bukankah makan dari hasil kerja keras sendiri
lebih enak dibanding mengambil milik orang lain?
Pesan moral dari Cerita Kancil Nyolong Timun adalah
- Jangan tiru sifat kancil yang
tak baik ini, ya. Mencuri itu perbuatan dosa
- Janganlah mengulangi kesalahan
yang sama.