LEGENDA CINDELARAS
Raden Putra, Raja
Jenggala, mempunyai dua orang istri. Keduanya adalah permaisuri dan selir.
Selain cantik wajahnya, Sang Permaisuri juga baik hatinya. Sang Selir juga
sangat cantik wajahnya. Namun, ia sangat buruk kelakuannya. Ia iri hati pada
Sang Permaisuri. Ia merencanakan untuk menyingkirkan Sang Permaisuri dari
istana kerajaan, agar perhatian dan kasih sayang Raden Putra semata-mata
tertuju kepadanya.
Sang Selir bekerja
sama dengan tabib istana untuk mewujudkan rencana jahatnya. Ia berpura- pura
sakit. Ketika Raden Putra bertanya pada tabib istana; perihal penyebab sakitnya
Sang Selir, tabib istana mengatakan jika sakit yang diderita Sang Selir
disebabkan oleh racun. “Racun itu dibubuhkan pada minuman yang diberikan untuk
Sang Selir,” kata tabib istana.
“Siapa yang tega
memberikan minuman beracun untuk selirku itu?” tanya Raden Putra.
“Permaisuri Paduka
sendiri,”jawab Sang Selir. “Tampaknya Permaisuri iri hati pada hamba hingga
bermaksud membunuh hamba.”
Tak terkirakan
kemarahan Raden Putra. Seketika itu ia mengusir Sang Permaisuri dari istana
kerajaan dan membuangnya ke hutan belantara. Raden Putra bahkan memerintahkan
patihnya untuk membunuh Sang Permaisuri ketika telah tiba di hutan.
Sang Permaisuri yang
tengah mengandung itu terpaksa menerima perlakuan buruk yang ditimpakan
kepadanya. Meski, sama sekali ia tidak melakukan keburukan seperti yang
dituduhkan kepadanya itu.
Patih kerajaan
Jenggala merasa jika Sang Permaisuri tidak bersalah. Menurutnya, Sang
Permaisuri yang baik hati itu mustahil meracuni Sang Selir. Menurutnya pula,
Sang Selir telah melakukan fitnah untuk menyingkirkan Sang Permaisuri dari
istana. Oleh karena itu ia tidak melaksanakan perintah Raden Putra untuk
membunuh Sang Permaisuri.
Patih kerajaan
Jenggala lantas menangkap kelinci. Disembelihnya kelinci itu. Darahnya diusap-
usapkannya pada keris pusakanya. Katanya kepada Sang Permaisuri, “Hamba akan
menghadap Raden Putra dan menyatakan jika hamba telah membunuh Paduka. Darah
kelinci pada keris pusaka hamba ini akan hamba jadikan bukti.”
“Terima kasih, Paman
Patih,” ujar Sang Permaisuri.
Sepeninggal Patih
kerajaan Jenggala, Sang Permaisuri hidup sendirian di dalam hutan belantara.
Seiring berjalannya sang waktu, kian membesar kandungannya. Ia pun melahirkan
sendirian di hutan belantara itu. Bayinya lelaki dan diberinya nama Cindelaras.
Cindelaras tumbuh
menjadi anak lelaki yang kuat tubuhnya dan tampan wajahnya. Sejak kecil ia
telah bergaul dengan aneka hewan yang terdapat di hutan tempat tinggalnya.
Hewan-hewan itu senang berada di dekat Cindelaras dan mereka menuruti perintah
Cindelaras.
Pada suatu hari,
ketika Cindelaras tengah bermain, seekor burung rajawali menjatuhkan sebutir
telur ayam di dekat Cindelaras. Cindelaras lantas mengeramkan telur ayam
tersebut pada ayam hutan betina yang menjadi sahabatnya. Tiga minggu kemudian
telur itu menetas.
Cindelaras merawat
anak ayam itu baik-baik hingga tumbuh menjadi ayam jago yang kuat lagi gagah.
Tubuhnya terlihat kuat lagi kekar. Paruhnya kokoh dan runcing seperti paruh
burung rajawali. Kedua kakinya kekar berotot dengan kuku-kukunya yang runcing
lagi tajam. Suara kokoknya terdengar aneh dan mengherankan, “Kukuruyuuuk …
Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden
Putra …”
Cindelaras keheranan
mendengar kokok ayam jantannya. Ia lantas bertanya kepada ibunya perihal
ayamnya. Cindelaras akhirnya mengetahui jika dirinya adalah anak Raden Putra,
Raja Jenggala. Ia juga mengetahui penyebab ibu dan dirinya terusir dari istana
kerajaan Jenggala. Cindelaras ingin membuka keburukan perilaku ibu tirinya.
Dengan izin dan restu
ibunya, Cindelaras berangkat menuju istana kerajaan Jenggala. Ayam jago
kesayangannya dibawanya pula. Dalam perjalanannya, Cindelaras mendapati
beberapa orang tengah mengadu jago dengan taruhan. Ketika mereka melihat
Cindelaras membawa ayam jago, mereka pun menantang untuk mengadu.
“Aku tidak mempunyai
taruhan,” kata Cindelaras.
“Taruhanmu adalah dirimu,” jawab salah se orang penyabung. “Jika jagomu kalah, engkau harus bekerja dan mengabdi kepadaku selama beberapa tahun. Namun, jika ayam jagomu menang, aku akan memberikan banyak harta untukmu.”
Cindelaras semula
tampak ragu-ragu. Namun, ayam jagonya terus meronta-ronta seperti memintanya
untuk menerima tantangan itu. Cindelaras akhirnya setuju.
Kedua ayam jago lantas
diadu. Hanya dalam beberapa gebrakan saja ayam jago Cindelaras telah dapat
mengalahkan musuhnya. Ayam-ayam jago lainnya yang diadu melawan ayam jago
Cindelaras juga tidak berkutik. Rata-rata mereka hanya bertahan dalam beberapa
gebrakan saja untuk kemudian berkaok-kaok melarikan diri.
Cindelaras sangat
banyak mendapatkan uang dan juga perhiasan karena kemenangan ayam jagonya itu.
Para penyabung ayam benar-benar terperangah mendapati keperkasaan ayam jago
Cindelaras. Berita perihal kehebatan ayam jago Cindelaras segera menyebar.
Banyak penyabung yang menemui Cindelaras untuk mengadu jago. Ayam jago
Cindelaras benar-benar tangguh, semua lawan-lawannya dikalahkan dalam beberapa
gebrakan pertarungan saja.
“Tampaknya hanya ayam
jago milik Gusti Prabu Putra saja yang mampu menandingi ayam jago anak ini,”
kata salah seorang penyabung. “Sama halnya dengan ayam jago milik anak ini,
ayam jago milik Gusti Prabu Putra juga tidak pernah terkalahkan. Pertarungan
kedua ayam jago itu pasti akan seru jika terjadi.”
Raden Putra akhirnya
mendengar kehebatan ayam jago Cindelaras. Ingin benar ia mengadu ayam dengan
Cindelaras. Maka, Raden Putra lantas memerintahkan para prajuritnya untuk
mendatangkan Cindelaras ke istana kerajaan.
Cindelaras datang dan
langsung menghadap Raden Putra. Meski ia mengetahui sosok yang di hadapannya
itu adalah ayah kandungnya, namun Cindelaras bersikap layaknya rakyat yang
datang menghadap rajanya. Ia duduk bersila setelah menghaturkan sembah. Ayam
jagonya juga duduk bersila di sampingnya. Sangat mengherankan, ayam jago itu
tidak berkokok selama Cindelaras menghadap Raden Putra.
“Namamu Cindelaras?”
tanya Raden Putra.
“Benar, Gusti Prabu.”
“Kudengar engkau
mempunyai ayamjago yang hebat. Apakah engkau berani mengadu ayam jagomu itu
dengan ayam jago milikku?”
“Hamba siap, Gusti
Prabu,” jawab Cindelaras.
“Apa taruhanmu?”
Cindelaras sejenak
berpikir sebelum akhirnya memberikan jawabannya, “Hamba hanya mempunyai
selembar nyawa. Jika ayam jago hamba kalah, maka hamba serahkan nyawa hamba
kepada Gusti Prabu. Namun jika ayam jago Gusti Prabu kalah, hamba meminta
setengah wilayah kerajaan Jenggala.”
“Baik,” Raden Putra
menyatakan kesediaannya. “Bersiap-siaplah untuk menyerahkan nyawamu. Lehermu
akan dipenggal algojo kerajaan setelah ayam jagomu itu kalah!”
Alun-alun istana
kerajaan segera disiapkan untuk menjadi arena pertarungan dua jago milik
Cindelaras dan Raden Putra. Berduyun-duyun orang datang ke alun-alun untuk
menyaksikan peristiwa yang sangat langka itu. Beberapa petaruh juga turut
datang dan masing-masing mempertaruhkan uang yang dimilikinya untuk mendukung
jago Cindelaras atau jago milik Raden Putra.
Ketika telah
dihadapkan, jago milik Cindelaras terlihat kalah besar dan kalah kekar tubuhnya
dibandingkan jago milik Raden Putra. Namun jago Cindelaras tidak memperlihatkan
ketakutannya, bahkan seperti tak sabar ingin segera bertarung. Maka, dengan
iringan sorak sorai penonton, kedua ayam jago itu pun memulai pertarungannya.
Semangat bertarung
ayam jago Cindelaras sangat besar. Tendangan kaki dan patukan paruhnya begitu
kuat bertenaga hingga ayam jago milik Raden Putra terlihat kewalahan. Ayam jago
Cindelaras juga cerdik lagi piawai menghindari serangan yang dilancarkan ayam
jago milik Raden Putra. Pertarungan itu terus berlangsung dan ayam jago milik
Raden Putra mulai terlihat kepayahan. Beberapa saat kemudian ayam jago milik
Raden Putra tak lagi sanggup melayani perlawanan ayam jago Cindelaras. Ia
berkaok-kaok melarikan diri dari arena pertarungan tanda menyerah kalah.
Sebagian penonton yang menjagokan ayam jago Cindelaras bersorak-sorak gembira
setelah mengetahui ayam jago Cindelaras memenangkan pertarungan.
Raden Putra sangat
terkejut mendapati ayam jagonya kalah. Janji pertaruhan yang diucapkannya pun
dipenuhinya. Setengah wilayah kerajaan Jenggala diberikan kepada Cindelaras.
Ayam jago Cindelaras
mendadak berkokok dengan nyaring, “Kukuruyuuuk … Tuanku Cindelaras, rumahnya di
tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahandanya Raden Putra …”
Raden Putra kembali
terkejut mendengar kokok ayam jago milik Cindelaras itu. Diperha-tikannya
baik-baik Cindelaras yang tetap berdiri dengan sikap hormatnya. “Cindelaras,
benarkah apa yang disebutkan ayam jagomu itu?”
“Benar, Gusti Prabu.
Hamba adalah putra Gusti Prabu. Ibu hamba adalah Permaisuri Paduka yang tinggal
di hutan.”
Raden Putra terlihat
bingung. Menurutnya, permaisurinya itu telah meninggal dunia di tangan patihnya
yang mengemban titahnya. Ketika itu ia juga telah ditunjukkan darah yang
terdapat pada keris patihnya yang disebutkan patihnya sebagai darah
permaisurinya.
Patih Jenggala segera
menghadap Raden Putra dan menceritakan kejadian yang sesungguhnya.
Ia memang tidak jadi
membunuh sang permaisuri sesuai titah Raden Putra karena ia sangat yakin dan
mengetahui jika sang permaisuri sama sekali tidak bersalah. Menurutnya, Sang
Permaisuri menjadi korban fitnah.
“Fitnah? Fitnah
siapa?” tanya Raden Putra.
“Fitnah dari selir
Paduka yang bekerja sama dengan tabib istana, Gusti Prabu,” jawab Patih
Jenggala.
Sang Selir dan tabib
istana segera dihadapkan pada Raden Putra. Keduanya akhirnya mengakui perbuatan
jahat mereka. Tak ayal lagi, Raja Jenggala itu lantas menjatuhkan hukuman yang
berat bagi keduanya. Tabib istana dijatuhi hukuman mati. Sementara Sang Selir
dijatuhi hukuman buang ke hutan.
Terbukalah kebenaran itu. Raden Putra lalu memeluk tubuh Cindelaras seraya meminta maaf. Raja Jenggala itu juga memerintahkan para prajurit Jenggala untuk segera menjemput permaisurinya.
Sang Permaisuri
kembali dengan segala kehormatannya ke istana kerajaan Jenggala. Ia hidup
berbahagia bersama suami dan juga Cindelaras.
Pesan Moral :
KEBENARAN AKAN
MENGALAHKAN KEBATILAN ATAU KEIAHATAN. KECURANGAN AKAN TERBUKA DAN AKAN
MENGALAMI KEKALAHAN DI KEMUDIAN HARI.
0 komentar:
Posting Komentar